TOMKET 108.CAI.2012.CA

TOMKET 108.CAI.2012.CA

Kamis, 17 Juli 2014



Ekspedisi Baju Biru
Puncak Rante Mario Pegunungan Latimojong


SEKILAS TENTANG PEGUNUNGAN LATIMOJONG
Panorama alam yang indah dan disebut sebagai atap pulau Sulawesi menjadikan Gunung Latimojong banyak dilirik para pendaki di Indonesia.

Latimojong adalah gunung tertinggi di Sulawesi Selatan, yang memiliki tujuh puncak, dengan puncak tertinggi Rante Mario dan ketinggian 3.680 meter di atas permukaan laut. Membentang dari selatan ke utara, Latimojong sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Enrekang, sebelah utara dengan Kabupaten Tana Toraja, sebelah selatan dengan Kabupaten Sidrap, dan sebelah timur dengan Luwu sampai pinggir pantai Teluk Bone. Adapun puncak-puncak Pegunungan Latimojong yang membujur dari utara ke selatan yakni:
  1. Buntu Sinaji (2437)
  2. Buntu Lapande (2487)
  3. Buntu Sikolong (2754)
  4. Buntu Rantekambola (3083)
  5. Buntu Rantemario (3478)
  6. Buntu Nenemori (3397)
  7. Buntu Latimojong (3305)
  8. Buntu PasaBombo (2965)
  9. Buntu Pallu (3086)
10.     Buntu Lariu (2700)
Di pagi hari  itu kami memulai perjalan dari kesekretariat Cagar Alam Indonesia Cinta Alam (CAICA) pada Kamis, Sabtu 9 februari 2014. Pada pukul 14.00 WITA Kami telah meninggalkan Kota Makassar degan menggunakan sepeda motor.
Setelah Melalui Beberapa jam perjalan Makassar, Enrekang. Kami pun tiba pada pukul 04.30 WITA di Kecamatan Baraka, Enrekang. Kami berempat duduk terdiam di sebuah pos ronda letaknya di gerbang pasar Baraka. Sesuai dengan jadwal yang kita tentukan, kita pun menginformasikan saudara kami (Habib) yang tinggal di desa Kalimbua, kecamatan Baraka. bahwa kami telah tiba di pasar yang letaknya tidak jauh dari dari kantor kecamatan Baraka, Enrekang.
Setelah  menempuh perjalan selama 14 jam degan mengunakan sepeda motor kami tiba kediaman saudara  Habib. Yang letaknya di Desa Kalimbuah.  Di sana saudara Cakra dan Hamka telah menunggu yang terlebih dahulu berangkat mengunakan mobil
Sesampai di kediaman Saudara kami, kami pun di sambut dengan baik oleh pemuda – pemuda kalimbuah yang sedang bermain kartu. Setelah kami  melakukan perbincangan dengan pihak keluarga dan masyarakat setempat. Kami pun di izinkan nginap semalam di desa kalimbuah. kami sangat berterima kasih kepada pihak keluarga dan masya  rakat kalimbua yang baik dan membantu kami dari hal Materi dan Non materi.
Semalam pun Berlalu, pada pagi hari kami melakukan sarapan bersama keluarga Habib. Setelah itu kamipun bergegas untuk melakukan perjalan pendakian.
 Pendakian ke puncak Latimojong itu kami mulai pada Minggu 10 Februari 2014, pada pukul 10.00 WITA.  Kami pun siap melaukan perjalan mengunakan sepeda motor, terlihat pemandangan rumah panggung berjejer. Hasil pertanian, seperti kopi, dijemur di halaman. Rumah-rumah itu dibatasi oleh kebun salak. Kabupaten Enrekang memang terkenal sebagai salah satu daerah penghasil salak di Sulawesi Selatan.
Dari kejauhan terlihat bukit-bukit batu terjal, yang berada di antara bukit-bukit hijau. Jalan semakin menanjak. Setelah sekitar dua jam perjalanan, kamipun meninggalkan jalan beraspal dan mulailah berjalan di jalan berbatu, kemudian jalan tanah. Adrenalin kami mulai terpacu saat melihat jalan licin dan becek, sedangkan di sisi kanan jurang menganga dalam dan sisi kiri tebing tinggi.
Beberapa desa pun kami lewati dengan lelahnya. Enrekang Baraka, Pasui, Gura, Buntu Dea. Dan Kami pun tiba di desa Rantelemo pukul 01.50 WITA. Kamipun mengambil inisiatif untuk melakukan istirahat sejenak guna mengembalikan ferforma motor yang lelah melibas tanjakan ditemani dengan sebatang Surya kami bersenda gurau 15 menit berlalu kami mulai memacu kendaran melanjukan perjalanan dusun terakhir, dusun karangan, desa Latimojong.

Pada pukul 13.30 WITA, kami pun tiba di dusun karangan, desa latimojong.
Walau dusun ini terpencil, penduduk dusun itu dapat menikmati penerangan listrik. Namun, bukan dari PLN. Secara swadaya masyarakat memanfaatkan aliran sungai dan memasang kincir air yang menghasilkan daya, kemudian dialirkan ke rumah-rumah warga. “Jadi di sini penduduk tidak perlu membayar listrik karena ini diusahakan oleh warga sendiri. Lucunya, kadang nyala lampu yang sangat terang tiba-tiba redup, bergantung pada deras arus yang memutar kincir,” ujar Tahir, Kepala Dusun Karangan.
Setelah berbincang dan meberi pakaian layak pakai yang kami bawa dari kesektariatan, kami memulai pendakian . Dengan memanggul ransel masing-masing, kami berjalan melalui jalan setapak meninggalkan Dusun Karangan menuju puncak Latimojong.
          Belum jauh dari dusun, terhampar pemandangan pohon-pohon kopi di sisi kiri dan kanan jalan setapak, dengan buah merah mencolok. Tampak pula karung yang berisi biji-biji kopi yang baru dipanen. Medan makin menanjak. Meski belum berjalan terlalu jauh, napas sudah tidak beraturan.Sebelum tiba di Pos I. Perjalanan kami harus menyeberangi dua sungai dengan meniti beberapa batang pohon yang melintang di atas sungai. Kemudian kami melalui beberapa lahan yang baru dibuka oleh warga untuk perkebunan kopi. Dari sana, jauh di bawah, tampak indahnya pemandangan yang hijau, dan dari kejauhan tampak permukiman warga setempat. selanjutnya adalah wilayah hutan lebat.                                                         
Kondisi jalan pun sudah mulai tidak bersahabat. Bahkan terkadang kami harus meniti pinggiran jurang dengan berpegangan pada akar-akar pohon. Rasa takut kadang tiba-tiba datang jika melihat ke bawah jurang. Saya harus memakai kaus tangan agar tangan tidak terluka saat berpegangan pada akar-akar pohon.



Menuju Pos II jalan tidak selalu mendaki. Semakin dekat menuju Pos II, jalan menurun dan licin karena lembap. Pos II berada di pinggir sungai. Tidak begitu luas, hanya berupa bongkahan batu besar yang agak lapang dan gua batu terbuka. Namun, tempat ini menjadi salah satu pilihan bagi pendaki untuk beristirahat, bahkan menginap karena dekat dengan sumber air.
Medan berikutnya menuju Pos III. Sangat sulit walau jarak tempuhnya pendek. Tebing dengan rata-rata kemiringan 70-85 derajat, belum lagi kondisi tanah yang licin, mengharuskan kami untuk memanjatnya. Namun, di sinilah etape perjalanan paling seru meski sangat berbahaya. “Awas, batu. Ada batu,” terdengar teriakan dari atas, mengingatkan kami bahwa ada batu jatuh. Kami yang berada di bawah pun ekstrahati-hati agar tidak terkena batu. “Meski berbahaya, saya sangat suka karena menantang,” kata Aldy alias Kondo dari Caica”.
Perjalanan menuju Pos IV setelah beristirahat sejenak jalan menuju Pos IV lebih bersahabat meski mendaki. Akar-akar pohon sebagai tumpuan dan pegangan tersusun lebih rapi. Begitu pula dengan batang pohon yang menjadi tumpuan alternatif. Kondisi hutan pun makin lebat dan lembap. Kabut sempat turun beberapa saat.
Jam di tanganku menunjukkan pukul 13.09 WITA ketika kami tiba di Pos IV yang ditumbuhi pohon-pohon besar. Suasana makin mencekam saat kabut turun yang makin membatasi jarak pandang. Terlihta sesajian dibawah pohon entah siapa yang membawa dipikiran saya ,tapi berhubung kami haus dan lelah tak salah rasanya kalo kami mencicipinya sedikit. Apalagi ketika hujan mengikui langkah kami semakin dalam, selain kabut dan hutan lebat, jarak pandang. Saya sempat drop ketika rasa lelah, lapar, dan dingin menusuk. Dengan bantuan sekaleng susu dan istirahat sejenak, akhirnya saya dapat melanjutkan pendakian meski dengan ritme lambat dan lebih sering berhenti.
Akhirnya sampailah kami di Pos V sekitar pukul 14.50 Wita, tempat kami beristirahat dan makan ditengah sergapan rasa dingin,sambil menunggu hujan radah. Di sekitar tempat itu ada sebuah sungai, yang untuk mencapainya harus melewati medan yang terjal dan licin.
Perjalanan menuju puncak Rante Mario dilanjutkan. Pos demi pos selanjutnya pun kami lalui. Untuk sampai ke Pos VI pun terasa lebih singkat walau medan lumayan licin karena banyak batu besar.
Kondisi hutan di ketinggian sekitar 3.000 mdpl terasa lembap. Batang-batang pohon di sekeliling kami ditutupi lumut. Sementara itu, di Pos VII terdapat bukit-bukit batu dan pohon-pohon kerdil, tempat kami beristirahat sebelum melanjurkan perjalanan mencapai Puncak Rante Mario. . Akhirnya sampailah kami dilokasi camp dekat pemancar, sekitar pukul 18.30 Wita, tempat kami menginap malam itu hujan tak urung redah mengharuskan kami memasak dalam tenda dan berdoa esok pagi akan cerah.
Perjuangan mencapai puncak Rante Mario akhirnya tercapai setelah mendaki tebing, melalui bukit-bukit batu dan hutan berpohon kerdil. Kami pun langsung menuju titik tranggulasi di ketinggian 3.680 Mdpl. Segala kelelahan terbayar seketika saat melihat pemandangan yang indah, kala matahari beranjak ke arah barat, dengan berkas warna kuning keemasan menerpa awan putih.                                                         
Pada Selasa, 11 Februari 2014. Pukul 11.00 Wita. Kami tiba di puncak tertinggi (Rante Mario). pegunungan Latimojong. Kab. Enrekang














0 komentar:

Posting Komentar

Site search

    Blogger news

    Blogroll

    About